Gambar.1 Kampus Muhammadiyah Yogyakarta di Wirobrajan Yogyakarta Menggunakan Kulit Ganda material kaca
Di masa kekinian, isu lingkungan menjadi salah satu perhatian bagi segenap masyarakat didunia. Mulai sejak dua decade belakangan ini, indikasi degradasi lingkungan yang terbilang booming adalah meningkatnya suhu panas bumi yang setiap tahunnya kian meningkat signifikan di seluruh negara termasuk Indonesia. Kita semua tentunnya beberapa tahun belakangan ini pernah merasakan sinar matahari semakin panas. Mungkin diantara kita sering ada yang ngeluh, “huh panas banget sih hari ini”, right?. Itu merupakan salah satu tanda dari fenomena degradasi lingkungan yang sering disebut Global Warming (Pemanasan Global).

Namun dalam kesempatan kali ini, gw ga akan membahas soal sebab musabab, dampak maupun cara pencegahan global warming. Gw akan mengulas suatu hal dibalik permasalahan degradasi lingkungan yang menurut gw mulai mengemuka. Do U Want to know? Nih gw kasih tau Y (alah sok tau bgt y gw hehe) yakni perkembangan dalam hal arsitektur yang tentunya terkait dengan adanya Global Warming ini. Desain arsitektur ini mencoba untuk beradaptasi dan mengsiasati adannya degradasi lingkungan seperti Global Warming itu. Hal ini tentunnya sangat berguna buat kehidupan kita alias masyarakat luas.

Ditengah mem-blow up nya fenomena global warming dengan sinar UV (Ultraviolet) yang menyengat semakin panas, ternyata tidak hanya produk kosmetik yang menghasilkan produk tabir surya melainkan desain bangunan juga demikian. Munculnya trend bangunan bertabir surya (berkulit ganda a.k.a double skin layer) mulai menjamur belakangan ini meskipun hal ini sudah pernah ada jauh sebelumnya. Kulit tambahan pada bangunan sebenarnya sudah dikenal luas dalam wujud kanopi atau tabir surya. Kanopi digunakan khusus untuk melindungi bidang terbuka seperti jendela, pintu atau teras, Sementara itu dimensi tabir surya alias kulit ganda dapat lebih memungkinkan dipasang secara menyeluruh di bagian depan bangunan.



Pada tahun 1903, bangunan berkulit ganda sudah dijumpai di Jerman tepatnya di Steiff Factory Building. Rancangan ini di buat oleh Richard Steiff putra pemilik pabrik tersebut. Awalnya rancangan ini bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan cahaya alami tanpa terganggu angin kencang di sekitar pabrik. Hal ini juga bertujuan untuk mengurangi kebutuhan energi untuk pemanas ruangan pada saat musim dingin tiba.
Namun di tahun 1920-an maestro rancang-bangun, Le Corbusier, memiliki pendapat yang menyatakan bangunan berkulit ganda terlalu mahal sehingga kurang efisien untuk dibangun. Pernyataan Le Corbusier ini memberikan efek besar dalam merosotnya penggunaan bangunan berkulit ganda pada masa itu.
Sampai di tahun 1980-an, para arsitek menyadari pentingnya penggunaan kulit ganda pada sebuah bangunan, khususnya bangunan tinggi. Masa itu, material dari kaca menjadi pilihan karena dinilai dapat memberikan tampilan modern pada bangunan. Tapi saat ini ada juga loh yang menggunakan bangunan berkulit ganda dengan menggunakan material alumunium seperti di kampus gw (Universitas Budi Luhur, bukan promosi y) . Nampaknya penggunaan material alumunium ini sebuah perkembangan baru dari sebuah trend bangunan tabir surya yang sebelumunya banyak menggunakan material kaca. Tidak hanya itu, bangunan Universitas Budi Luhur baru-baru ini juga banyak memperbanyak tanaman hijau di setiap sudut bangunannya baik itu halaman depan, taman, area wi-fi maupun parkiran. Kemungkinan besar Bangunan Budi Luhur yang baru ini ingin menyiasati fenomena pemanasan global yang memberikan efek panas yang menyengat.



Gambar.2. UNiversitas Budi Luhur Jakarta Selatan

Bila melihat gambar di atas, dibalik tulisan besar Universitas Budi Luhur terlihat bangunan yang berwarna krem atau putih. Nah itu dia yang gw maksud kulit ganda yang berbahan material alumunium. jelas kan? sebelumnya sangat terlihat jendela dan kusen-kusennya, sekarang hanya kelihatanm warna putih alumunium.


Pada bangunan yang berada dalam iklim tropis yang hangat seperti Indonesia, bangunan berkulit ganda terbukti mampu untuk mengeliminir cahaya dan sengatan sinar matahari yang masuk kedalam bangunan. Hal ini berpengaruh pada penurunan konsumsi energi dalam penggunaan Air Conditioner (AC) dan paling tidak dapat mengurangi beban penyejuk didalam ruangan karena ruangan tidak lagi memiliki suhu yang terlampau panas. Hal ini sangat bermanfaat bagi kita di tengah krisis energi saat ini yang menjadi permasalahan manusia di abad 21 ini.

Sumber: Kompas 16 Agustus 2009